Kamis, 25 Februari 2010

MARIA DOLOROSA - MARIA BERDUKA CITA.



Selama 500 tahun lebih di Larantuka, sebuah kota pesisiran di Flores Timur, warga kota melangsungkan sebuah prosesi bernuansa Portugal setiap Pekan Paskah. Kini disebut sebagai satu-satunya di dunia, prosesi ini, yang telah berlangsung berabad-abad dan diikuti puluhan ribu manusia dari berbagai belahan Indonesia dan dunia, berintikan penyertaan dan devosi kepada Maria Dolorosa— Maria Berdukacita, yang kehilangan Yesus, putranya yang mati demi penebusan dosa. Dua pekan lalu, di tengah kota yang boyak-boyak oleh bencana longsor, prosesi Paskah tetap berjalan hikmat, khusyuk, dan menggetarkan. Wartawan TEMPO Seno Joko Suyono dan fotografer Hariyanto mengikuti dari dekat seluruh ritual Pekan Suci tersebut.

“O Vos Omnes
Qui transitis….”

Wanita berbusana dan berkerudung serba biru itu naik ke bangku kecil. Di pinggir jalan, ia melafalkan sebuah lagu berbahasa Latin. Intonasi dan cara melafalkan kalimat-kalimatnya begitu liris. Sekitar 20 ribu penziarah, pengikut prosesi yang membawa lilin-lilin, berhenti. Suasana sunyi sekali.

Larantuka seolah terseret duka, padahal bulan purnama tengah mengambang di atas kota. Tak ada suara apa pun kecuali suara perih wanita itu, mengucapkan kata-kata di atas, yang berarti “Hai kamu sekalian yang sedang melintas jalan ini ….” Suaranya seolah menggema ke mana-mana.

Sembari bernyanyi, wanita itu perlahan-lahan membuka sebuah gulungan. Tampaklah gambar Ecce Homo, simbol wajah Kristus bermahkota berduri yang terukir dalam kain kafan. Wanita itu memutar tubuhnya, menghadap setiap arah pejalan prosesi. Tangannya menunjuk pada wajah sang Kristus, seolah ia menerangkan betapa menderitanya putra Maria itu. Lalu, ia kembali meratap.…

“Attendite
Et videte si est dolor
Sicut dolor meus”
(Pandang dan lihatlah! Adakah kau lihat kesedihan yang sedang kualami?)

Selama lebih dari 500 tahun, Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur, mempertahankan suatu prosesi Paskah—memperingati wafat dan kebangkitan Kristus—yang unik. Suatu arak-arakan penuh campuran doa dan nyanyian berbahasa Latin dan Portugis. Wanita di atas menyimbolkan Veronika, seorang wanita Yerusalem yang dulu mengikuti penyaliban Yesus di Bukit Golgota. Tak dapat menahan emosi melihat penderitaan Yesus, Veronika menyeruak maju dari kerumunan manusia, mendorong para algojo dan dengan berani mengelap wajah Kristus yang tengah bercucuran darah. Syahdan, di atas kain itu langsung tercap wajah Kristus.

“Semana Santa” (bahasa Portugis, berarti Pekan Suci Paskah) seolah menenggelamkan Larantuka, sebuah kota kecil di tepi Laut Flores yang bergelombang, dalam suasana syahdu. Warga Larantuka menyebut minggu Paskah sebagai hari bae (hari baik). Penduduk di sini tak mengenal tradisi menggambar telur Paskah—kebiasaan Eropa yang ditiru warga kota-kota besar seperti Jakarta. Warga Larantuka juga tak mengutamakan prosesi Paskah seperti di Filipina atau Brasil, yang mengarak “Yesus hidup” memanggul Salib.

Di Larantuka, yang ditonjolkan adalah prosesi pengarakan patung Maria Dolorosa (Maria Berdukacita) dan sebuah peti yang dianggap peti mati Kristus. Keduanya dipercaya keramat. Umat Katolik di Larantuka boleh disebut umat Katolik tertua di Indonesia. Portugis masuk ke sana pada tahun 1511. “Pada tahun 1665, Raja Ola Ado Bala—kemudian dipermandikan dengan nama Ola Ado Bala Diaz Vieyra Godinho, D.V.G.—menyerahkan tongkat kerajaan kepada Bunda Maria Reinha Rosary,” tutur Don Martinus D.V.G., keturunan Ola Bala. Sejak itu warga Larantuka menganggap Maria sebagai pelindung utama kotanya.

Sebuah gambar—Maria dengan cahayanya menaungi pegunungan di Larantuka dan pulau-pulau sekitarnya—yang dimiliki sebagian besar penduduk mencerminkan hal itu. Warga Larantuka menyebut patung Maria Dolorosa dengan sebutan Tuan Ma. Sementara itu, peti mati Kristus dinamakan Tuan Ana. Keduanya tersimpan dalam Kapel Tuan Ma dan Tuan Ana, yang berada pada satu ruas jalan dekat laut berjarak sekitar 1 kilometer. Kedua kapel mungil ini menjadi bagian paling dalam dari batin warga Larantuka. Bila, katakanlah, hendak mengadu nasib ke Jawa atau ke mana pun, mereka lebih dahulu berdoa di kapel, memohon keselamatan.

Patung Maria Dolorosa dan peti mati Tuan Ana hanya diperlihatkan sekali setahun pada saat Paskah. “Orang Larantuka pada masa Paskah seperti mudik di Jawa saat Lebaran,” kata Dr. Philipus Tule S.V.D., antropolog lulusan The Australian National University yang menjadi Rektor Seminari Tinggi Filsafat Ledalero di Maumere. Terdapat banyak versi mistis bagaimana patung Tuan Ma dan peti mati Tuan Ana itu bisa sampai ke Larantuka. Ada yang mengatakan mengapung di laut, dari kapal milik para misionaris Portugis yang karam. Ada yang mengatakan dahulu penduduk menyaksikan seorang wanita berkulit putih tiba-tiba muncul di pantai, menulis dengan kulit kerang di tanah: “Reinha Rosary Maria”, Maria sang Ratu. Dan kemudian patung itu ditemukan.

Kotak peti Tuan Ana bahkan tak pernah dibuka selama ratusan tahun. Warga percaya bahwa siapa pun yang membuka peti bakal mati. “Itu hal tabu. Secara tradisi, saya tak boleh membicarakannya,” tutur Don Martinus. Namun, warga percaya kegaiban dua kapel beserta isinya. Misalnya longsor pada tahun 1979, yang terjadi dua minggu menjelang Paskah, yang mengakibatkan 163 warga mati. Saat itu seluruh kota hancur. Tapi Kapel Tuan Ma dan Tuan Ana tetap berdiri tegak, meski bangunan di kanan-kiri rata dengan tanah.

Larantuka memang rentan terhadap longsor. Posisi geografisnya dijepit oleh bukit dan laut. Di bukit itu jarang tumbuh pohon-pohon besar sehingga, bila hujan lebat, curah air yang besar akan mendorong batu-batu meluncur ke bawah. Adanya kelurahan bernama Lohayong—yang dalam bahasa setempat berarti “hanyut laut”—menandakan sejak beratus-ratus tahun tragedi longsor sering terjadi. “Saat tahun 1979, batu-batu besar menggelinding dari bukit. Suaranya seperti 1.000 helikopter. Rumah-rumah yang dihantam tercabut utuh sampai ke laut,” demikian kenangan Tonce Matutina, bekas camat Larantuka, penduduk Lohayong. “Saya punya sepupu. Badannya besar seperti Larry Holmes. Dia bersama anaknya mati terseret lumpur,” Tonce menambahkan. Kala itu, orang ingat, saat Paskah tiba semua warga betul-betul menyerahkan diri total kepada Bunda Maria.

Khidmatnya Paskah kali ini tidak berkurang, kendati dua pekan sebelumnya longsor kembali menggerus kota kecil ini. Kekhusyukan suasana sudah terasa sejak hari Kamis Putih, yang jatuh pada tanggal 17 April. Para sesepuh memandikan patung Maria Dolorosa—istilah orang sana dibikin muda kembali. Sepanjang hari para jemaah bersimpuh, meminta air bekas cucian. Di Larantuka dan desa-desa sekitarnya, penduduk bergotong-royong melakukan tikam turo, memasang kayu-kayu tempat lilin di rute-rute jalan prosesi. Kayu itu diikat dengan tulang daun lontar yang diambil dari hutan-hutan dekat Larantuka.


  Dalam tradisi gereja Katolik di Flores Timur, khusunya di Larantuka, ibukota Kabupaten Flores Timur, hari Kamis Putih merupakan hari suci untuk melakukan kegiatan “tikan turo” atau menanam tiang-tiang lilin sepanjang jalan raya yang menjadi rute Prosesi Jumat Agung pada keesokan harinya.
Pada siang hari Kamis Putih itu, Larantuka yang populer dengan sebutan kota Reinha Rosari itu, hening mencekam karena sedang dilakukan kegiatan “tikan turo” oleh para mardomu (semacam panitia kecil yang telah melamar jauh sebelumnya menjadi pelayan) sesuai promesanya (nasar).
Ketika itu juga, aktivitas di kapela Tuan Ma (Bunda Maria) dimulai dengan upacara “Muda Tuan” (pembukaan peti yang selama setahun ditutup) oleh petugas conferia (sebuah badan organisasi dalam gereja) yang telah diangkat melalui sumpah.
Arca Tuan Ma kemudian dibersihkan dan dimandikan lalu dilengkapi dengan busana perkabungan berupa sehelai mantel warna hitam, ungu atau beludru biru.
Umat Katolik yang hadir pada saat itu diberi kesempatan untuk berdoa, menyembah, bersujud mohon berkat dan rahmat, kiranya permohonan itu dapat dikabulkan oleh Tuhan Yesus melalui perantaraan Bunda Maria (Per Mariam ad Jesum).
Sesuai tradisi, keturunan raja Larantuka Diaz Vieira Godinho yang membuka pintu Kapela Tuan Ma yang terletak di bibir pantai Larantuka itu.
Setelah pintu kapela dibuka, umat setempat serta para peziarah Katolik dari berbagai penjuru NTT dan nusantara serta manca negara mulai melakukan kegiatan “cium kaki Tuan Ma dan Tuan Ana” dalam suasana hening dan sakral.
Sejarah Larantuka sendiri, tidak lepas dari kedatangan bangsa Portugis dan Belanda, yang masing-masing membawa misi yang berbeda-beda pula.
Bangsa Portugis membawa warna tersendiri bagi perkembangan sejarah agama Katolik di Flores Timur, yang meliputi Pulau Adonara, Solor dan juga Lembata yang telah berdiri sendiri menjadi sebuah daerah otonom baru.
Kala itu, konon, orang Portugis yang membawa seorang penduduk asli Larantuka bernama Resiona (menurut cerita legenda adalah penemu patung Mater Dolorosa atau Bunda Yang Bersedih ketika terdampar di Pantai Larantuka) ke Malaka untuk belajar agama.
Ketika kembali dari Malaka, Resiona membawa sebuah patung Bunda Maria, alat-alat upacara liturgis dan sebuah badan organisasi yang disebut Conferia, mengadakan politik kawin mawin antara kaum awam Portugis dengan penduduk setempat.
Pada 1665, Raja Ola Adobala dibaptis atau dipermandikan dengan nama Don Fransisco Ola Adobala Diaz Vieira de Godinho yang merupakan tokoh pemrakarsa upacara penyerahan tongkat kerajaan berkepala emas kepada Bunda Maria Reinha Rosari.
Setelah tongkat kerajaan itu diserahkan kepada Bunda Maria, Larantuka sepenuhnya menjadi kota Reinha dan para raja adalah wakil dan abdi Bunda Maria.
Pada 8 September 1886, Raja Don Lorenzo Usineno II DVG, raja ke-10 Larantuka, menobatkan Bunda Maria sebagai Ratu Kerajaan Larantuka. Sejak itulah, Larantuka disebut dengan sapaan Reinha Rosari.
Pada 1954, Uskup Larantuka yang pertama, Mgr Gabriel Manek SVD mengadakan upacara penyerahan Diosis Larantuka kepada Hati Maria Yang Tak Bernoda.
Selama empat abad lebih, tradisi keagamaan tersebut tetap saja melekat dalam sanubari umat Katolik setempat.
Pengembangan agama Katolik di wilayah itu, tidak lepas dari peranan para Raja Larantuka, para misionaris, peranan perkumpulan persaudaraan rasul awam (conferia), dan peranan semua Suku Semana serta perananan para Kakang (Kakang Lewo Pulo) dan para Pou (Suku Lema).
Contoh ritual yang terus dilakukan tiap tahun hingga saat ini adalah penghayatan agama popular seputar “Semana Santa” dan Prosesi Jumad Agung atau “Sesta Vera”.
Kedua ritual ini dikenal sebagai “anak sejarah nagi” juga sebagai ’gembala tradisi’ di tanah nagi-Larantuka.
Ritual tersebut merupakan suatu masa persiapan hati seluruh umat Katolik secara tapa, silih dan tobat atas semua salah dan dosa, serta suatu devosi rasa syukur atas berkat dan kemurahan Tuhan yang diterima umat dari masa ke masa dalam setiap kehidupannya.
Doa yang didaraskan, pun lagu yang dinyanyikan selama masa ini menggunakan bahasa Portugis dan Latin.
Semana Santa (masa pekan suci) adalah istilah orang nagi Larantuka mengenai masa puasa 40 hari menjelang hari raya Paskah yang diwarnai dengan kegiatan doa bersama (mengaji) pada kapela-kapela (tori) dan dilaksanakan selama pekan-pekan suci.
Doa bersama Semana Santa diawali pada hari Rabu Abu (permulaan masa puasa) sampai dengan hari Rabu Trewa. Orang nagi Larantuka memaknai masa Semana Santa sebagai masa permenungan, tapa, sili dosa dan tobat yang dimulai dari hari Rabu atau disebut Rabu Trewa sehari menjelang Kamis Putih.
Hari ini merupakan hari penutupan Semana Santa. Selain doa dan mengaji di kapela-kapela, pada sore hari diadakan lamentasi (Ratapan Nabi Yeremia) di gereja Katedral Larantuka.
Lamentasi dilakukan menurut ritus Romawi jaman dahulu. Pada saat ini, Larantuka menjadi “Kota berkabung, sunyi senyap, tenang, jauh dari hingar bingar, konsentrasi pada kesucian batin dan kebersihan hidup.
Sehari setelah Kamis Putih yang bertepatan dengan pelaksanaan pemilu legislatif pada 9 April 2009, dilanjutkan dengan Prosesi Jumat Agung dalam bentuk perarakan menghantar jenasah Yesus Kristus yang memaknai Yesus sebagai inti, sedangkan Bunda Maria adalah pusat perhatian, Bunda yang bersedih, Bunda yang berduka cita (Mater Dolorosa).
Pada hari Jumat pagi sekitar pukul 10:00 Wita, ritus Tuan Meninu (Arca Yesus) dari Kota Rewido digelar. Setelah berdoa di kapela, Tuan Meninu diarak lewat laut dengan acara yang semarak nan sakral.
Prosesi laut melawan arus ini berakhir di Pante Kuce, depan istana Raja Larantuka dan selanjutnya diarak untuk ditakhtakan pada armada Tuan Meninu di Pohon Sirih.
Arca Tuan Ma pun diarak dari kapela-Nya menuju Gereja Kathedral. Pada sore hari pukul 15:00 Wita, patung Tuan Missericordia juga diarak dari kapela Missericordia Pante Besar menuju armidanya di Pohon Sirih.
Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi delapan buah perhentian (armida), yakni Armida Missericordia, Armida Tuan Meninu (armada kota), Armida St. Philipus, Armida Tuan Trewa, Armida Pantekebi, Armida St. Antonius, Armida Kuce dan Armida Desa Lohayong.
Urutan armida ini menggambarkan seluruh kehidupan Yesus Kristus mulai dari ke AllahNya (Missericordia), kehidupan manusiaNya dari masa Bayi (Tuan Meninu), masa remaja (St. Philipus) hingga masa penderitaanNya sambil menghirup dengan tabah dan sabar seluruh isi piala penderitaan sekaligus piala keselamatan umat manusia.
Pada Sabtu yang dikenal sebagai Sabtu Alleluya, umat Katolik mengarak kembali Tuan Ma dan Tuan Ana dari Gereja Katedral untuk disemayamkan di kapelanya masing-masing. Demikian pun halnya dengan patung Tuan Missericordia dan Tuan Meninu diarak dari armidanya kembali ke kapelanya.
Ketika tibanya Minggu Paskah, dilangsungkan upacara ekaristi di gereja masing-masing. Selesai perayaan ekaristi, patung Maria Alleluya diarak kembali ke kapela Pantekebis setelah pentakhtaan patung Maria Alleluyah, dilakukan sebuah upacara yang disebut “sera punto dama” dari para mardomu pintu Tuan Ma dan Tuan Ana yang lama kepada yang baru.

Jumat, 22 Januari 2010

NASIB PETANI JAMBU METE DI KECAMATAN DEMON PAGONG


Ini adalaha merupakan salah satu dari hasil pertanian  setiap desa di Kecamatan Demon pagong, yang cukup banyak hasilnya dan menambah hasil atau pendapatan para petani tiap tahun, tetapi sayangnya harga masih sangat tergantung pada para pembeli karena para pemerintah daerah belum memperhatikan hasil-hasil komoditi dari para petani di daerah sehingga kalau dilihat dari hasil yang ada sebenarnya para petani tidak kekurangan/miskin kalau memang harganya sesuai.
Jadi harapan kami sebagai putra daerah, mohon para pejabat yang terkait supaya diperhatikan sehingga selain menambah pengahsilan dan kesejahteraan para petani sekaligus menambah pendapatan daerah ( Kecamatan ) kita DEMON PAGONG

Senin, 04 Januari 2010

ACARA NATAL BERSAMA KELUARGA " TUAK EHAN " JAKARTA

Tepatnya tgl. 02 Januari 2010, perkumpulan keluarga besar "TUAK EHAN" merayakan acara
Natal 2009, dan Tahun Baru 2010 di Pantai Anyer, walaupun masih dalam suasana duka karena tepatnya tgl. 26 Desember 2009, salah satu dari saudara kita (anggota perkumpulan Tuak Ehan)yaitu : Alfons Beribe dipanggil oleh Tuhan Yamng Maha Kuasa.
Dan kegembiraan Natal, Tahun baru ini terlihat dari antusiasnya peserta yang mengikuti
acara ini sejak keberangkatan, sampai pada malam hari walapun terasa capek dalam perjalanan tetapi semua dengan gembira mengikuti acara yang dibuat oleh panitia sampai selesainya acara dan walaupun tidurnya uyel-uyelan dikamar maupun di ruang tamu
teteapi terasa sangat akrab persaudaraan/kekeluargaannya, apalagi bangun pagi hujan rintik-rintik, angin pantai yang begitu kencang tapi ibu-ibu dengan senang hati membutkan kopi/teh untuk sarapan pagi di tiap-tiap Vila/tempat penginapan semakin terasa keakraban/kekeluargaan yang selama ini semua dengan kesibukan masing-masing yang tinggalnyapun sangat berjauhan tetapi pada acara ini kelihatannya sangat akrab, saling peduli satu sama yang lain.
Setelah itu sekitar jam : 8.30 panitia melakukan Ibadat walaupun yang ikut tidak begitu banyak karena sebagian masih menikmati tidur walaupun beralaskan tikar, setelah ibadat langsung sarapan pagi langsung dengan perlombaan-perlombaan yang sangat semarak acara tarik tambang bapak-bapak, ibu-ibu, lomba bakiak untuk ibu-ibu dan anak-anak, jadi hampir semua ambil bagian untuk mengisi acara pada siang hari. dan inilah suasana yang dapat dilihat dan dingat-ingat kembali, o....... ternyata saya lagi .............itu  yach.

Kamis, 19 November 2009

Acara Refresing Karyawan Astrido Toyota Klender 2009

Tanggal : 24 Oktober sampai dengan 25 Oktober 2009, ada acara refresing yang
dilakukan oleh setiap Cabang ASTRIDO pada setiap tahun, maka pada tahun ini 2009
kami dari cabang Toyota Klender melakukan refresing ke daerah Lembang Jawa Barat
dengan berbagai macam acara yang dilakukan untuk mengisi waktu selama berada di Lembang dan ini sebagian acara yang dilakukan :


Selasa, 06 Oktober 2009

Hari Raya Idul Fitri 2009


Tepatnya, tgl. 20 September 2009, saudara kita Muslim merayakan Hari Raya Idul Fitri 1430 H, dan seperti biasanya kita yang non muslimpun ikut merayakannya dengan mendatangin keluaraga-2 terdekat, para tetangga
maka dari keluarga besar " TAMPO MAS " (perkumpulan orang Sunda) " berkumpul di kediaman Almahrum  Bpk. UDJU,



di Perumahan Angkatan Udara Dirgantara, untuk saling bermaaf-maafan satu sama lain serta saling berbagi cerita sebagaimana biasanya para keluarga berkumpul. dan inilah sedikit pose waja-waja yang sedang bergembira khususnya anak-anak kecil

Senin, 28 September 2009

ULANG TAHUN PERNIKAHAN

Tepatnya tgl. 20 Agustus 2009, adalah hari ulang tahun pernikahan kami yang ke lima belas tahun, dan sebagaimana biasanya di Paroki kami setiap bulan tepatnya pada minggu terakhir selalu diadakan Misa untuk ulang tahun pernikahan untuk mengulang janji pernikahan setiap pasangan yang berulang tahun, dan kebetulan pada ulang tahun pernikahan kami bertepatan dengan Misa perdana Pastor  Romanus Hery S. PR, yang baru ditabiskan karena kebetulan selama menjalankan masa TOP nya di Paroki kami yaitu : Paroki St. Robertus Belarminus Kelapa Gading Cililitan.

Rabu, 23 September 2009

Rumah Adat Suku " TUKAN "

Ini adalah satu upacara adat pada saat renovasi/perbaikan rumah adat suku TUKAN - di KARAWATUNG Solor Barat, karena rumah pertama sudah cukup tua serta sudah tidak cukup untuk menampung keluarga yang berkumpul pada saat-saat upacara maupun pertemuan suku dan ini merupakan rumah besar dari Suku Tukan maka semua perawakilan harus hadir pada upacara ini, dan yang hadir pada saat itu perwakilan dari suku Tukan di Blepanawa adalah  Bpk. Petrus Home Tukan dan anak/adik Philipus Dadu Tukan.
"TUKAN ANA KODA, KAME KERU MALE ANGI "